Harmonisasi Mobilitas dan Energi : Mewujudkan Mimpi Masa Depan Kualitas Udara Kota Idaman
Dari kejauhan seorang gadis kecil bertanya pelan. Pertanyaan sederhana yang justru membuat sang bunda menggeleng kepala.
“Ma, Jakarta mendung tapi kog tidak hujan ya?”
Karena pada kenyataannya itu bukan gelapnya awan Jakarta, namun kelamnya kualitas udara kota mereka. Polusi, masalah klasik yang tidak ada habisnya. Namun untuk si gadis kecil, harapan turun hujan tetap ada. Karena saat ini udara kota memang “panas” luar biasa.
Ironi tinggal di kota sejuta mimpi.
Lalu apa solusinya?
Mengkaji Kondisi Udara Kota Jakarta
Petikan di atas mungkin hanya fiksi di alam fikir saya, namun penulis yakin pasti banyak yang juga merasa demikian. Udara di kota Jakarta atau beberapa kota besar lain di Indonesia sudah masuk ke taraf mengancam jiwa.
Pun faktanya, rilisan data Air Quality Indeks (AQI) ungkap kualitas udara di Jakarta masuk nominasi paling buncit alias terburuk di dunia. Jika mau dijabar, tentu daftar hitam kualitas udara di kota Indonesia masih panjang nampaknya.
Namun kita adalah manusia. Makhluk yang dianugerahkan kelebihan berfikir dan bertindak lebih. Oleh karena itu, tentu selalu ada upaya demi harapan hidup yang lebih baik.
Seperti salah satunya media berfikir bersama dalam bentuk diskusi publik bertajuk “Sinergitas Sektor Transportasi dan Sektor Energi untuk Wujudkan Kualitas Udara Bersih di Jakarta, dan Kota-Kota Besar di Indonesia” yang diadakan oleh KBR.
Bukan omong-omong biasa, karena diskusi ini turut mengundang beberapa pihak terkait yang secara langsung mampu memberi dampak untuk kualitas udara kota.
Sebut saja Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Sigit Reliantoro, Tulus Abadi selaku Pengurus Harian YLKI, General Manager PT PLN Indonesia Power (IP) PGU Suralaya Irwan Edi Syahputra Lubis, Luckmi Purwandari selaku Direktur Pengendalian Pencemaran KLHK serta Ahmad Safrudin yang menjabat sebagai Ketua Komite Penghapusan Bahan Bakar Bertimbal (KPBB).
Lalu apa yang menjadi “menu” utama?
Secara singkat dan sesuai dengan tema, didapuklah sektor transportasi dan energi sebagai ganda terdepan yang paling banyak dipersalahkan perihal buruknya kualitas udara di Kota Jakarta.
Data menyebut sumber polusi yang menjadi penyebab buruknya kualitas udara di Jakarta adalah dari sektor transportasi. Studi menunjukkan bahwa 41-44% dari emisi yang ada di atmosfer di Jakarta berasal dari transportasi. Tingginya mobilitas warga yang menggunakan kendaraan pribadi menjadi kontributor signifikan terhadap polusi udara di Jakarta.
Lalu industri energi menempati posisi berikutnya. Sekitar 31.1% dari emisi di atmosfer Jakarta berasal dari industri energi, terutama dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di sekitar Jakarta, seperti di Banten dan Suralaya.
Diteruskan beberapa sektor lain seperti manufaktur, perumahan, dan komersial. Sekitar 10% dari emisi berasal dari sektor manufaktur, 14% dari sektor perumahan, dan 1% dari sektor komersial.
Melihat Akar Masalah
Yang menarik ternyata ada yang dinamakan Siklus Tahunan Kualitas Udara. Siklus tahunan kualitas udara di Jakarta dan kota-kota besar di Jawa, di mana polusi udara mulai turun pada bulan Oktober dan dinetralkan dengan turunnya hujan pada bulan November.
Sebagai seorang dosen yang mengampu mata kuliah Analisis Iklim dan Musim a.k.a Anklim, hal semacam ini tentu menarik untuk difikirkan. Jika memang alam menyediakan solusi sejak zaman dulu, mengapa kondisi dunia terus menurus makin sakit? Jawabannya tentu karena manusia itu sendiri.
Dan menjadi masalah ketika, faktor utama yang menyebabkan turunnya kualitas udara di kota besar belum mampu dicarikan jalan keluar. Sedangkan dalam perjalannya, siklus tersebut dapat terganggu oleh banyak faktor lain.
Pertama, melirik sektor tranportasi. Gaya hidup terkait fungsi mobilitas yang dianut para warga ibukota konon menjadi akar permasalahannya.
Mobilitas warga yang masih tinggi menggunakan kendaraan pribadi menjadi kontributor signifikan terhadap polusi udara di Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa dominannya emisi gas buang di Jakarta berasal dari tingginya penggunaan kendaraan pribadi.
Lalu juga peran angkutan massal dalam mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Meskipun Jakarta memiliki angkutan massal seperti KRL, MRT, Trans Jakarta, dan LRT, fungsi angkutan massal tersebut belum mampu memigrasikan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan massal secara signifikan.
Di sisi lain, sektor energi juga tak luput untuk dibedah.
Jakarta dikelilingi oleh 17 PLTU besar di Jawa Barat dan Banten. PLTU memiliki peran penting dalam kontribusi emisi gas buang yang berkontribusi terhadap pencemaran udara. Penting untuk memastikan bahwa PLTU telah terverifikasi sertifikat proper untuk mengurangi emisi yang tinggi.
Harmonisasi Mobilitas dan Energi
Sektor transportasi dan sektor energi memiliki hubungan yang erat terkait dengan upaya peningkatan kualitas udara di kota-kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta.
Sebagai contoh, sektor transportasi berkontribusi signifikan terhadap emisi CO2 di Indonesia. Data menunjukkan bahwa sektor transportasi berkontribusi sekitar 24% terhadap total emisi CO2 di Indonesia. Emisi CO2 ini berasal dari penggunaan kendaraan bermotor berbasis bahan bakar fosil, yang merupakan penyebab utama polusi udara di perkotaan.
Kemudian kebijakan di sektor transportasi, seperti pengembangan transportasi massal dan penggunaan energi terbarukan, dapat berdampak langsung pada kualitas udara. Langkah-langkah seperti penggunaan kendaraan listrik, pengembangan transportasi massal yang terintegrasi, dan pengurangan konsumsi energi bagi transportasi merupakan upaya nyata dalam mengurangi emisi dan polusi udara di wilayah perkotaan.
Yang tak kalah penting dan menurut penulis salah satu yang paling dilematis adalah partisipasi masyarakat. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam perbaikan kualitas udara melalui sektor transportasi juga menjadi hal yang mutlak.
Masyarakat perlu diberdayakan untuk memahami dampak polusi udara dan pentingnya berperan aktif dalam mengurangi emisi gas buang, baik melalui penggunaan transportasi publik maupun penggunaan energi bersih.
Dari pengalaman pribadi penulis, seringkali peraturan dan sistem telah dibangun dengan cukup baik oleh pemangku kewenangan serta pihak terkait. Namun dalam penerapan, praktek di lapangan mlempem karena kurang kesadaran dari masyarakat hingga abai dari anjuran yang diberikan.
Sesuai dengan narasi yang telah dibangun sebelumnya, salah satu upaya terbaik yang bisa dilakukan yakni mewujudkan sinergitas positif dari sektor transportasi dan energi demi memperbaiki kualitas udara.
Secara sederhana, langkah yang dilakukan yakni :
- Mendorong Penggunaan Angkutan Massal
Salah satu solusi yang dibahas adalah mendorong perubahan perilaku dari penggunaan kendaraan pribadi menuju penggunaan angkutan massal. Meskipun Jakarta telah memiliki sarana angkutan massal seperti KRL, MRT, dan TransJakarta, masih diperlukan upaya untuk memigrasikan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan massal. Hal ini juga mencakup upaya untuk meningkatkan kenyamanan dan efisiensi angkutan massal guna menarik lebih banyak pengguna.
Opsi menarik lain yakni mempopulerkan kembali tren penggunaan transportasi sepeda. Meski tentu tidak mudah untuk diterapkan secara besar, namun ada potensi besar jika kita bisa mewujudkan era transportasi yang lebih ramah lingkungan.
- Pengendalian Emisi dari Kendaraan Bermotor
Upaya pengendalian emisi dari kendaraan bermotor juga menjadi fokus dalam pembahasan tersebut. Hal ini mencakup peningkatan kualitas bahan bakar, penggunaan teknologi ramah lingkungan, dan pengawasan terhadap kendaraan yang tidak memenuhi standar emisi. Selain itu, terdapat rencana untuk mendorong penggunaan bahan bakar nabati yang memiliki emisi lebih rendah.
- Pengawasan Terhadap Industri Energi
Solusi lainnya adalah melakukan pengawasan terhadap industri energi, terutama terkait dengan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Dalam percakapan tersebut, disebutkan bahwa terdapat 17 PLTU besar di Jawa Barat dan Banten yang berkontribusi terhadap emisi. Oleh karena itu, dibahas perlunya verifikasi sertifikat proper untuk memastikan bahwa PLTU tersebut mematuhi standar emisi yang ditetapkan.
- Penggunaan Bahan Bakar Hijau
Selain itu, Pertamina juga disebutkan akan membuat bahan bakar minyak (BBM) yang ramah lingkungan, yaitu BBM yang dicampur dengan bahan bakar nabati. Hal ini merupakan langkah untuk mengurangi emisi dari sektor transportasi dengan memperkenalkan bahan bakar yang memiliki emisi lebih rendah.
Dan yang tidak kalah penting adalah kolaborasi Multi-Stakeholders. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, industri, dan masyarakat sipil diperlukan untuk mengatasi masalah polusi udara. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan polusi udara memerlukan kerjasama dari berbagai pihak.
Epilog
Selama menyimak diskusi publik dari KBR, kutipan dari bapak Sigit Reliantoro Dirjen PPKL seakan membuka sumbat pemikiran saya.
Poinnya, ada sebuah siklus dalam upaya penyelesaian masalah transporasi, energi, dan lingkungan. Siklusnya, ketika seseorang naik secara ekonomi, cenderung mencari kendaraan pribadi, transportasi umum ditinggalkan, subsidi bahan bakar otomatis dinaikkan, lalu ada pemotongan, dan bermuara pada turunnya pelayanan.
Kondisi transportasi di jalan semakin sibuk, energi habis dikeruk, imbas akhirnya lingkungan udara makin terpuruk.
Lalu bagaimana?
Menurut ia adalah dengan saling berkorban, menahan diri dengan porsinya masing-masing. Bukan artinya hanya masyarakat yang dipaksa “puasa”. Namun semua pihak punya kewajiban yang sama. Pemerintah, swasta hingga seluruh lapisan yang secara langsung maupun tidak berperan di dalamnya.
Karena pada akhirnya, ini adalah upaya bersama.
Semoga bisa.
Sumber dan Referensi :
Youtube KBR – @BeritaKBR
Ilustrasi Polusi Udara Jakarta Foto antaranews/Wahyu Putro, 29/7/2019
Ilustrasi Polusi Transportasi Foto antaranews/Aldino Anatusa, 14/2/2019
Ilustrasi Uji Emisi Foto antaranews/Lifia Mawaddah Putri, 1/11/2023
Infografis Kualitas Udara Jakarta dari katadata.co.id, 15/6/2023
-0 Comment-