Gerak Bersatu, Menahan Desa Mansinam yang hampir Karam
“Kak… mama bilang sa nikah saja cepat. sekolah pun mo bikin apa?”
Ucap pelan seorang anak gadis Mansinam. Hampir seperti bisikan, sambil meremas ujung rok lusuhnya yang mulai memudar.
Usianya baru belasan, namun sudah tiga kali tawaran menikah datang. Merasa tertekan? Tentu, namun ia tak punya banyak pilihan.
Di Mansinam, Jordy belajar bahwa menyelamatkan pendidikan bukan hanya soal mengeja huruf dan angka – tetapi lebih jauh tentang membantu anak-anak mempertahankan hak dan masa depannya.
– Bhrisco Jordy Dudi Padatu, Penggagas Papua Future Project
.
Mansinam Yang Hampir Karam
Hampir setiap minggu pagi, ketika laut mulai lembut dan langit membiru, sebuah perahu kecil menepi di bibir Pulau Mansinam. Bukan membawa wisatawan, perahu itu memanggul sesuatu yang jauh lebih penting yakni harapan.
Dari kejauhan, belasan anak berlarian di atas jembatan kayu tua. Suara papannya berkelok dan bergetar termakan usia. Menjadi tanda sesuatu yang sangat dinanti segera datang.
“Itu kaka-kaka!”, mereka berlarian menyambut pelita yang lama tidak mereka punya. Kesempatan mendapat seteguk ilmu. Sederhana saja.
Di pulau yang hanya berjarak enam kilometer dari Kota Manokwari namun tampak jauh terpisah dari kemajuan, nyala pendidikannya pun meredup pelan.
Jangankan mimpi jadi dokter, pilot, guru, dan seterusnya, mengeja saja mereka masih tertatih. Menghitung angka belum fasih. Bahkan sekadar pun ingin gigih, anak-anak itu tak bisa memilih.
Namun sejak beberapa tahun terakhir, ada gerakan kecil yang perlahan memecah sunyi. Gerakan yang lahir dari satu langkah, diperkuat puluhan tangan, dan kini didorong banyak pihak yang meyakini bahwa dampak tidak lahir dari satu orang, tetapi dari gerak yang disatukan.
.

Anak pulau Mansinam – Dok. Papua Future Project
.
Mansinam.
Garis pantainya syahdu, laut biru dengan hamparan pasir putih yang mustahil membuat mata jemu. Ditambah hasil laut berlimpah, tumbuhan hijaupun subur menampangkan kesan makmur ala negeri timur.
Belum lagi Mansinam juga dikenal sebagai gerbang masuknya trah religi di bumi cendrawasih.
“Setiap tanggal 5 Desember, ribuan masyarakat Papua akan berbondong-bondong menuju ke pulau ini untuk merayakannya acara keagamaan,” terang Bhrisco Jordy, penggagas Papua Future Project (PFP).
PFP adalah komunitas program belajar dengan tujuan utama memberikan pendidikan inklusif bagi anak-anak Papua di daerah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal), dalam hal ini anak asli Pulau Mansinam.
Pada titik ini mungkin judul tulisan terkesan berlebihan. Bagaimana mungkin Mansinam yang bak potongan nirwana ini dikata hampir karam.
Andai boleh ber angan, penulis juga ingin sepakat satu pemikiran. Namun kenyataannya pahit untuk ditelan. Pada waktu itu, pendidikan Mansinam memang sedang di ujung peraduan.
Faktanya, pulau indah ini berada tak jauh Kota Manokwari, ibukota Provinsi Papua Barat. Sekitar 6 kilometer saja, jarak yang masih bisa dipandang mata. Namun jangan tanya kesenjangan pendidikannya.

Peta posisi Pulau Mansinam – Dok. Google Maps
.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilaporkan dalam Laporan Kinerja Provinsi Papua tahun 2022, masih terdapat tantangan besar di bidang literasi: sekitar 21,17% penduduk usia 15 tahun ke atas belum bisa membaca dan menulis dengan baik. Artinya Papua menyandang angka buta huruf (ABH) tertinggi di antara provinsi lain di Indonesia.
Dengan jumlah penduduk mencapai ratusan kepala keluarga, Mansinam hanya punya 1 fasilitas sekolah dasar dan sekolah menengah. Jordy berkata sempat ada sekolah PAUD di Mansinam, namun tidak mampu bertahan karena satu dua alasan.
Konsep sekolah dasar pun tidak bisa dikatakan berjalan dengan lancar. Adakalanya murid datang untuk belajar namun ada pula momen murid masuk “hari tenang” karena kehadiran tenaga pengajar yang terhalang.
“Saya sudah survei di beberapa tempat, mulai Raja Ampat, Maybrat, Tambrauw, dan daerah lain yang lebih jauh dari ibu kota provinsi. Angka iliterasinya sangat tinggi, meski ada gedung sekolah, tapi guru jarang datang,” kisah Jordy.
Maklum saja, beraktivitas lintas pulau juga terkadang harus tunduk pada alam.
Hasil dari minimnya aliran literasi di Mansinam adalah tingkat pendidikan yang bisa dibilang sangat rendah di sana. Untuk baca tulis saja mayoritas anak Mansinam masih belum menguasai. Apalagi berhitung dan ilmu pengetahuan umum.

Senyum polos anak pulau Mansinam – Dok. Papua Future Project
.
Pahitnya Simalakama Budaya
Saat era masehi berubah milenia, kita mengenal salah satu peninggalan umat manusia yang sering kali dianggap bagai buah simalakama, yakni Budaya.
“Berjuang di tengah masyarakat yang masih memegang teguh adat atau budaya lokal yang sangat kental tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri. Salah satunya adalah anggapan bahwa anak-anak perempuan harus menikah pada usia yang masih sangat muda,” terang Jordy.

Anak perempuan pulau Mansinam – Dok. Papua Future Project
.
“Kalau sa sekolah terus, mama bilang sa susah dapat laki-laki.”
Ungkapan seorang anak gadis Mansinam, dimana pola pikir masih menjadi masalah besar di komunitas lokal.
Acap kali menurut Jordy, melihat gadis usia belia yang mau tidak mau harus menerima nasib dinikah muda adalah pemandangan biasa di tanah timur.
Lebih jauh, stereotipe ini lah yang menjadi bibit lahirnya rangkain masalah turunan. Kemunduran pendidikan, masalah kesehatan hingga tingginya tingkat mortalitas dalam kandungan juga bisa disebabkan oleh anak dan perempuan papua yang dipaksa menikah terlalu dini.
“Tingkat kematian pada anak bisa meningkat, ketidaksiapan mental, fisik, dan pendidikan pun jadi terhambat. Pemahaman terkait kesehatan reproduksi, remaja Papua masih sangat minim. Kami di kota saja masih sangat tabu, apalagi mereka.”
Padahal dari pengalaman Jordy, yang ia tahu potensi kecerdasan anak perempuan di Mansinam justru rata-rata lebih tinggi dari anak laki-lakinya. Ini bisa disebut potensi di satu sisi, namun juga ironi di lain sisi.
“Misalnya di Pulau Mansinam, anak perempuan lebih pintar dan menonjol saat pembelajaran. Kita ingin anak perempuan di Pulau Mansinam bisa bersekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan kita kerap berkunjung ke rumah orang tua mereka untuk memberikan pengertian terkait anak perempuan mereka.”
Apakah hanya itu saja?
.

Anak pulau Mansinam – Dok. Papua Future Project
.
Ketika menelisik lebih dalam “halaman belakang”, Jordy menemukan fakta-fakta lain yang membuatnya semakin yakin untuk segera bergerak. Dalam salah satu kunjungan, ia mendapati bahwa anggapan tentang anak dengan kondisi khusus sebagai pertanda kesialan bukan sekadar cerita.
“Bagi masyarakat di sini, anak-anak begitu dianggap pembawa karma buruk dari orang tuanya, sehingga mereka kerap kali dikucilkan.”
Sejak saat itu, Jordy paham bahwa di Mansinam, pendidikan bukan hanya melawan ketertinggalan, tetapi juga melawan stigma yang membuat seorang anak merasa tidak layak mendapatkan kesempatan.
.
Mengayuh Perahu Setengah Tiang
Jordy sadar untuk mengubah pendidikan di Papua, yang ia butuhkan itu “Bahtera”. Sedangkan saat itu yang ia punya baru sebuah perahu dengan bendera di tengah tiangnya.
“Salah satu tantangan terbesar adalah ketersediaan anak-anak muda yang mau sukarela dan memiliki waktu konsisten untuk mengabdi di sini.”
Memang bukan perkara sepele. Untuk benar-benar terjun di bidang kerelawanan terutama di daerah tertinggal membutuhkan persiapan yang tidak sedikit. Bukan hanya bekal niat dan semangat, namun waktu, komitmen, keberanian, hingga dana yang tidak sedikit jumlahnya.

Perjalanan Perahu Menuju Mansinam – Dok. IG Papua Future Project
.
“Sekali sewa perahu untuk menyeberang ke Pulau Mansinam membutuhkan biaya setidaknya Rp250 ribu, belum lagi kalau kita membawa peralatan penunjang lainnya,” ungkap Jordy.
Sebagai gambaran, pulau Mansinam memang hanya berjarak 6 kilometer dari Manokwari, tapi untuk menyeberang laut ada aturan mainnya.
Niat alam tak selalu seragam dengan tujuan mulia para relawan. Ada kalanya mereka memang tidak bisa menyeberang karena kondisi laut dan cuaca.
“Kalau sedang pasang, ombaknya bisa 1 sampai 2 meter.”
Oleh karena itulah terdengar wajar jika pada awal mula Papua Future Project melaju, baru ada 5 awak saja di “perahu Padatu”.
“Kami selalu punya prinsip bahwa kualitas lebih patut diperhatikan daripada kuantitas. Mau sebanyak apapun relawan, tapi mereka tidak memiliki hati yang tulus untuk mengajar. Maka mereka tidak bisa mempersiapkan pembelajaran dengan baik, percuma,” yakin Jordy.
Merajut Panji Perubahan
Tahun 2020 menjadi tahun yang sudah barang pasti tak mudah bagi kita.
Bagaimana tidak, saat pandemi covid menyerang, mayoritas sendi kehidupan masyarakat pun praktis lumpuh. Lalu jika tanpa pandemi saja pendidikan anak Mansinam sudah memprihatinkan, bagaimana di masa itu?
“Saat adanya lockdown, para guru dari Manokwari tidak datang, sehingga anak-anak di Pulau Mansinam juga tidak lanjut belajar.”
Sudah mampu diterka, tentu akses anak-anak Mansinam untuk mendapat pendidikan semakin terbatas. Namun di sinilah salah satu letak pola fikir Jordy yang berbeda. Terkadang waktu terbaik untuk memulai adalah justru ketika segala sesuatu sedang tidak baik-baik saja.
Di situlah Jordy masuk, membawa angin segar untuk pendidikan anak di pulau Mansinam yang sedang tertunduk.
Menjelang tahun 2021, Jordy mulai merancang konsep komunitas program belajar dengan nama Papua Future Project (PFP). Membawa dasar keyakinan “Every Child Matters” bermakna bahwa setiap anak baik laki-laki atau perempuan dan berasal dari apapun latar belakang, punya hak yang sama dalam mendapat pendidikan.

Berdirinya Papua Future Project – Dok. Papua Future Project
.
PFP merupakan upaya berbasis komunitas dengan tujuan utama untuk memberikan pendidikan inklusif bagi anak-anak Papua di daerah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal), dalam hal ini anak asli Pulau Mansinam.
Tak ingin setengah hati, Jordy benar-benar mempersiapkan segala sesuatu terutama konsep dasar kegiatan, aturan serta capaian. Setidaknya ada 3 misi utama yang diperjuangkan Jordy lewat PFP.
Yang pertama adalah bimbingan belajar intensif yang dijalankan dua kali setiap minggunya. Ia dan beberapa relawan PFP akan mendatangi pulau Mansinam untuk memberikan pengajaran yang sudah dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan kebutuhan anak di sana.
Misi kedua adalah menjalankan literasi via buku dan literasi keliling. Program ini dijalankan dengan membawa asupan buku bertema hiburan anak dan pendidikan ke beberapa wilayah pedalaman Papua. Berkolaborasi juga dengan komunitas setempat, secara bergantian kumpulan jendela ilmu itu akan dapat dinikmati oleh anak-anak pedalaman Papua.

Rumah Baca – Dok. Papua Future Project
.
Dan misi yang terakhir lebih ke arah edukasi kesehatan. Berbekal kerjasama dengan UNICEF Indonesia dan Kementerian Kesehatan, Jordy mampu mendapat kepercayaan untuk memberi penyuluhan tentang kesehatan dasar hingga mendorong literasi pentingnya imunisasi.
“Kegiatannya meliputi pengenalan kesehatan dasar, seperti cara mencuci tangan dengan benar untuk mencegah penyakit; memperjuangkan hak-hak anak perempuan untuk bersekolah dan mencegah pernikahan usia dini, serta memberikan akses imunisasi.”

Kegiatan literasi kesehatan di Mansinam – Dok. Papua Future Project
Tanah Itu Ibu dan Laut Adalah Ayahnya
Jordy berkisah pernah menatap Mansinam dari perahu yang mengantarkannya ke pulau. Yang ada dalam benaknya adalah, ia tahu bahwa tahap perubahan terberat adalah tentang pola fikir.
Dimana Mansinam melihat tanah sebagai ibu dan laut lah ayah mereka, adat budaya adalah sesuatu yang tidak boleh dilupakan begitu saja.
“Nilai-nilai adat istiadat dan budaya (di Pulau Mansinam) tidak boleh hilang. Bagaimana caranya? Ya dengan memberikan mereka pendidikan sehingga mereka bisa baca, bisa nulis. Supaya mereka bisa menulis apa yang mereka tahu tentang budayanya sehingga budaya itu tidak terkikis oleh zaman,” terang Jordy.
Oleh karena itulah muncul pendekatan unik yang ditawarkan Jordy lewat Papua Future Project. Ketimbang fokus pada pengajaran berdasarkan kurikulum nasional yang sudah pasti anak Mansinam sulit ikuti, akan lebih baik pendekatannya diubah ke arah kontekstual sehingga lebih membumi.

Metode pembelajaran inklusif – Dok. Papua Future Project
.
“PFP memberikan pendidikan dengan kurikulum tersendiri. Disebut sebagai kurikulum kontekstual yang menggabungkan nilai-nilai budaya dan adat istiadat dalam pembelajaran. Sehingga, anak-anak tidak dituntut menyesuaikan dengan standardisasi Nasional, melainkan mengawali mereka dari kemampuan membaca dan menulis,” papar Jordy.
Sebagai anak asli Papua, Jordy sangat faham bahwa mengajarkan ilmu lewat hal yang belum pernah dikenal anak justru bakal menimbulkan beban. Oleh karena itu pendekatan kontekstual menjadi pilihan.
Sebagai contoh, anak-anak diajak melukis lalu mengeja nama-nama ikan yang sering mereka tangkap di laut, atau pepohonan yang mereka panjat saat bermain melepas penat.

Hasil karya peserta didik – Dok. Papua Future Project
.
Sa Suka Belajar..
Jemari Alfian pelan menekan. Matanya berbinar, fokus berburu dimana tombol yang ia cari itu. Ketemu! Huruf N menjadi akhiran. A L F I A N.
Ya, bocah asli Mansinam itu sedang belajar mengetik namanya sendiri di laptop kakak relawan.

Anak Mansinam belajar teknologi– Dok. Papua Future Project
.
Tidak hanya Alfian yang bersemangat, sejumlah anak lain juga mengerubungi kakak relawan dengan khidmat.
“Anak-anak di sini semangat sekali belajar. Beberapa banyak juga yang tertarik dengan teknologi,” aku Jordy.
Ini menjadi bukti bahwa ketika bicara tentang sumber daya manusia, sebenarnya timur dan barat tidak ada bedanya. Bahkan bisa dikata anak Mansinam juga punya potensi yang sama besar jika diberikan kesempatan dan fasilitas pendidikan yang memandai.
Namun dalam bingkai inklusifitas, tidak bisa dipungkiri memang perlu pendekatan yang berbeda dari kebanyakan anak di daerah maju sana.
Sebut saja Alfian, nama bocah lelaki ini menjadi salah satu bahan perbincangan penulis dan Jordy ketika bertukar pesan. Dengan jelas Jordy berkisah, Alfian lah juga yang menjadi salah satu motivasi besarnya, optimisme bahwa anak-anak Mansinam ini pasti bisa bangkit.
Mengapa?
Pengalaman Jordy ketika awal mula melakukan survei di pulau Mansinam. Ia sempat tercengang dan hampir tak percaya karena ternyata Alfian sudah lumayan pandai baca tulis, menghitung angka bahkan faham sejumlah ilmu umum.
“Sejak awal PFP berjalan, Alfian ini sudah jago matematika bahkan bisa beberapa kosa kata bahasa inggris,” kenang Jordy.
Alfian mampu memutar presepsinya bahwa anak daerah Papua juga bisa.
“Kami akan berupaya keras agar Alfian bisa mendapat beasiswa hingga kuliah setinggi-tingginya. Dengan harapan juga menjadi motivasi lahirnya Alfian-alfian lain.”
Satukan Gerak, Demi Dampak Berkepanjangan

Gelang karya Anak Mansinam – Dok. Papua Future Project
.
Sejauh ini, kisah tentang perubahan wajah pendidikan di Mansinam terdengar seakan berpusat pada satu nama: Bhrisco Jordy Padatu. Namun semakin lama kita ikuti jejak gerakan ini, semakin jelas bahwa api kecil yang dimulai Jordy bukanlah cahaya yang berdiri sendiri.
Api itu justru menjadi nyala yang terus membesar karena banyak tangan lain ikut menjaga, meniup, dan merawatnya.
Di sinilah asa “Satukan Gerak, Terus Berdampak” menemukan wujud paling konkret: perubahan yang tidak lahir dari seorang pahlawan tunggal, melainkan dari keberanian banyak orang untuk bergerak bersama.
Ketika Jordy pertama kali menyeberang ke Mansinam pada masa pandemi, ia hanya berniat mengisi kekosongan belajar. Namun begitu ia kembali pulang ke Manokwari, empat temannya langsung berkata, “Kalau ko balik, kami ikut !”
Dari situ, gerakan Papua Future Project tidak lagi berbentuk langkah seorang pemuda, melainkan langkah sejumlah anak muda yang percaya bahwa pendidikan tidak harus berhenti bahkan saat melawan ombak hingga cuaca.
Setiap pekan, seiring waktu, jumlah relawan bertambah. Makin banyak mahasiswa hingga pemuda kampung tetangga yang ingin ambil peran. Semuanya rela menyingsingkan lengan, demi mengantar pendidikan bagi adik adik kita di Mansinam.
Masyarakat Mansinam pun pelan-pelan ikut masuk dalam lingkaran gerakan. Ada mama-mama yang duduk di teras, mengawasi anak-anak belajar sambil menyiapkan kudapan sederhana untuk para relawan. Ada pula bapa-bapa yang terkadang memastikan perahu relawan tersedia ketika cuaca tidak menentu.
dan ada pula “beban fikiran” yang berangsur luntur.
“Aduh ka… jujur, dari dulu sa pikir anak cewek itu cukup tau masak, jaga rumah, habis itu nikah. Tapi lihat dorang belajar begini, tra tega sa kasi putus masa depan dorang. Sa bilang ke anak sa, ‘Ko jangan ikut yang orang bilang. Ko sekolah dulu. Ko pung hidup tra boleh berhenti di umur kecil.’ ”
Perlahan upaya menata kembali pola pikir masyarakat pun mulai menampakkan hasil. Bukan hal besar, namun sangat berarti bagi perubahan di masa mendatang.
Di lain sisi, acap kali tokoh adat dan pemerintah setempat mengundang para relawan untuk berdiskusi, menyampaikan pandangan mereka, dan perlahan membuka ruang agar pendidikan lebih dihargai.
Kolaborasi tidak berwujud rapat formal atau janji besar. Ia tumbuh dari saling percaya, kehadiran yang tidak putus, konsistensi yang terlihat, dan kesiapan untuk saling menguatkan. Tanpa disadari, pola baru ini menciptakan ritme relawan, masyarakat dan pihak berwenang bergerak dalam kompas yang sama, memastikan anak-anak tidak kehilangan masa depan mereka.
Di luar pulau, bantuan datang dari mereka yang bahkan belum pernah menjejakkan kaki di Mansinam. Tetapi mereka percaya pada pentingnya keberlanjutan gerakan. Donatur kecil mengirimkan buku, komunitas mahasiswa menggalang dana untuk modul belajar, hingga bantuan organisasi lokal yang menyediakan fasilitas pendukung untuk para relawan baru.
Salah satu titik perubahan paling terasa terjadi ketika Bhrisco Jordy sebagai wajah Papua Future Project menerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2022 bidang Pendidikan dari Astra. Jordy mengingat momen itu sebagai “angin besar” yang akhirnya mendorong perahu kecil mereka menembus lebih banyak wilayah.

Penghargaan Satu Indonesia Award 2022 – Dokpri Jhordy
.
Dukungan yang diberikan, baik dalam bentuk pendanaan, pelatihan, maupun pemberitaan nasional membuat aktivitas PFP yang sebelumnya hanya bisa menjangkau satu pulau kini mampu memperluas langkah hingga ke lebih dari 14 kampung titik literasi di kawasan Papua Barat dan Papua Barat Daya.
Biaya penyeberangan yang semula menjadi hambatan, kini tidak lagi menjadi alasan kegiatan dihentikan. Mereka bisa menambah jadwal kunjungan, membeli papan tulis portabel, mencetak modul belajar, hingga menambah jumlah buku untuk perpustakaan kecil yang selama ini dibawa bolak-balik oleh relawan.
Namun lebih dari itu, dampak terbesar sebenarnya datang dalam bentuk yang tidak kasat mata yakni legitimasi. Setelah penghargaan Astra diumumkan, nama PFP tidak lagi terdengar seperti gerakan kecil yang mungkin mudah berhenti.
Ia menjadi gerakan yang diakui dan dipercaya. Mulai dari tokoh adat, sekolah, hingga organisasi semakin berminat untuk terlibat. Deretan publikasi nasional membuat semakin banyak pemuda Papua mengetahui gerakan ini. Dan dalam beberapa tahun waktu berjalan, jumlah relawan yang mendaftar melonjak dari hitungan jari menjadi puluhan anggota aktif.
Yang lebih penting, relawan merasa bahwa perjuangan mereka tidak lagi rapuh. Mereka bukan sekadar sekumpulan anak muda idealis, namun kini merasa menjadi bagian dari ekosistem perubahan yang nyata dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, jika kita melihat perjalanan Mansinam hari ini, jelas bahwa yang menggerakkan perubahan bukan hanya seorang Jordy. Ada tangan yang memegang dayung, ada kaki yang menjejak pasir, dan ada pula suara yang berani menyerukan hak anak untuk belajar.
Inilah Gerak yang disatukan. Dan selama tangan itu tetap saling menggenggam, dampaknya akan terus mengalir melampaui pantai Mansinam. Menuju generasi yang tidak lagi tumbuh dalam gelap, tetapi berjalan dalam cahaya masa depan yang lebih baik.

Senyuman anak Mansinam – Dok. Papua Future Project
.
Epilog: Perjalanan Separuh Utuh
Penulis tergelitik saat menulis bab akhir. Jika umumnya cerita inspiratif diukur dari capaian, lalu apa yang sudah PFP yang dinahkodai Jordy hasilkan?
Jika yang diharap mampu membawa anak Mansinam memenangkan kejuaraan, berkalung mendali, atau mungkin berhasil menelurkan capaian luar biasa. Saat ini belum, tapi haluannya sudah mengarah ke sana.
Namun sebagai gambaran, pada 19 Agustus lalu, Papua Future Project memperingati usia 4 tahun perjalanannya. Membawa tema “Berakar di Tanah Sendiri, Berwawasan Global”, momen tersebut menjadi ruang refleksi bahwa sejak mula, PFP tumbuh dari kekuatan kearifan lokal, gotong royong, serta semangat anak-anak muda Papua yang memilih membangun dari rumah sendiri sebelum menatap dunia yang lebih luas.
Selama empat tahun, PFP telah membuka ruang belajar di berbagai titik, mendampingi lebih dari 1.200 anak dan remaja Papua, serta memberdayakan lebih dari 400 pemuda untuk terlibat secara aktif sebagai tenaga penggerak literasi. Di sepanjang perjalanan itu, PFP juga menjalin kerja sama dengan lebih dari 20 stakeholder, mulai dari tingkat daerah hingga mitra internasional, untuk memperkuat pendidikan yang inklusif dan memastikan suara pemuda Papua ikut menentukan arah masa depan mereka.
.
Pada akhirnya, setidaknya saat ini satu mimpi Jordy sudah jadi nyata.
Yakni menyalakan dan mengawal mimpi anak-anak Mansinam yang dulu hampir karam.
View this post on Instagram
.
oleh:
Nani Sunarmi
Artikel ini diikut sertakan pada kompetisi Anugerah Pewarta Astra 2025
Sumber :
Wawancara melalui WhatsApp bersama Bhrisco Jordy Dudi Padatu (Penerima Satu Indonesia Award 2022 – bidang pendidikan )
Instagram Papua Future Project https://www.instagram.com/papuafutureproject/
Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. (2022). Laporan Kinerja Provinsi Papua 2022.
https://papua.bps.go.id


-0 Comment-